Tasawuf Imam Ghazali

A. Penimages-gazalidahuluan

Tasawuf sebagai salah satu ilmu esoterik islam memang selalu menarik untuk diperbincangkan. Terlebih pada saat ini dimana masyarakat seakan mengalami banyak masalah sehingga tasawuf dianggaap sebagai satu obat manjur untuk mengobati kehampaan tersebut.

Terlepas dari banyaknya pro dan kontra seputar asal mula munculnya tasawuf harus kita akui bahwa nilai-nilai tasawuf memang sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Setidaknya tasawuf pada saat itu terlihat dari tingkah laku nabi yang pada akhirnya kita namakan dengan nilai-nilai sufi. Hal tersebut sangatlah wajar karena misi terpenting nabi adalah untuk memperbaiki dan sekaligus meyempurnakan akhlak masyarakat arab dulu.

Diantara salah satu tokoh tasawuf islam yang sangat terkenal adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Thusi atau yang kita kenal dengan sebutan Imam Al-Ghazali. Beliau telah berhasil menggagas kaedah-kaedah tasawuf yang terkumpul dalam karya yang terkenal Ihya’ U’lum al-Din (The Revival of Religion Sciences). Karya al-Ghazali ini dianggap sebagai jembatan yang mendamaikan syari’at dengan tasawuf yang sempat mengalami clash pada zaman itu.

B. Sekilas Tentang al-Ghazali

Al- Ghazali yang terkenal dengan sebutan al-Gazel di dunia barat adalah seorang ahli sains terkemuka. Dalam perjalanan hidupnya ia merupakan seorang pengembara ilmu. Hal ini setidaknya dapat dibuktikan dengan karya-karyanya yang kaya akan berbagai cabang keilmuan. Selain di kenal sebagai tokoh sufi ia juga dikenal sebagai seorang ulama’ usul fiqh dengan karyanya al-mustashfa, ia juga dikenal sebagai tokoh filsafat dengan karyanya Tahafut al-Falasifah yang mengkritik konsep berfikir para filosof saat itu. Al-Ghazali menganggap para filosof pada saat itu telah melewati batas dan terjadi kehawatiran yang mendalam akan rusaknya akidah kaum filsafat sehingga ia berinisiatif untuk meluruskan pemikiran filsafat pada zaman itu.

Abu Hamid al-Ghazali dilahirkan pada tahun 405 H/ 1058 M di kota Tush yaitu kota kedua setelah Naisabur di daerah Khurasan atau pada saat ini berada pada bagian timur laut negara Iran.[1] Al Ghazali dengan nama lengkap Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Thusi ini mendapat banyak gelar dalam dunia islam. Diantara gelar yang paling terkenal adalah Hujjah al-Islam dan Zain al-‘Arifin. Ia diberikan gelar Hujjah al- Islam karena ia menjadikan tasawuf sebagai hujjahnya dalam berbagai perbincangan kesufian.

C. Pendidikan Al-Ghozali

Pendidikannya dimulai didaerahnya yaitu belajar kepada Ahmad Ibnu Muhammad al – Razkani al – Thusi, setelah itu pindah ke Jurjan ke pendidikan yang dipimpin oleh Abu Nash al-Ismaili mempelajari semua bidang agama dan bahasa, setelah tamat kembali ke Thus belajar tasawuf dengan Syekh Yusuf al – Nassaj (wafat 487 H) , kemudian ke Nisyapur belajar kepada Abul Ma’al al-Juwaini yang bergelar Imam al – Haramain dan melanjutkan pelajaran Tasawuf kepada Syekh Abu Ali al – Fadhl Ibnu Muhammad Ibnu Ali al – Farmadi, dan ia mulai mengajar dan menulis dalam Ilmu Fiqh. Setelah Imam al – Juwaini wafat ia pindah ke Mu’askar mengikuti berbagai forum diskusi dan seminar kalangan ulama dan intelektual dan dengan segala kecermelangannya membawanya menjadi guru besar di perguruan Nidzamiyah di Baghdad pada tahun 484 H, disamping memberikan kuliah, ia juga mengkaji filsafat Yunani dan filsafat Islam. Kecermelangan, keharuman namanya dan kesenangan duniawi yang melimpah ruah di Baghdad melebihi ketika ia di Mu’askar, dikota ini ia sakit dan secara tiba-tiba meninggalkan Baghdad mengundurkan diri dari kegemerlapan duniawi tersebut.

D. Sosio Politik

Al-Ghozali hidup pada saat keadaan politik yang kacau. Pada saat itu pemerintahan Abbasiah sudah tidak ada pengaruhnya dengan munculnya Dailami Saljuk kemudian Qowamuddin Nizamul Mulk selain itu juga terjadi perang saudara.

E. Sosio Ekonomi

Al–Ghazali adalah anak dari seorang yang wara’ yang hanya makan dari usahanya sendiri, dengan pekerjaan memintal dan menjual wol di sebuah toko tua di kota Thus Propinsi Khurasa, wilayah Persi. Meski pekerjaan ayahnya tidak memadai dalam memenuhi kebutuhan sehari – hari, namun ayahnya adalah seseorang yang cinta dengan Ulama’ selain itu dia terus menerus meminta kepada Tuhan (Allah SWT) agar anak – anaknya senantiasa mendapat anugerah dan hidayah dari Allah SWT supaya menjadi anak yang berguna dan berpengetahuan luas. Dengan penuh harapan kiranya kedua putranya kelak dapat memenuhi harapan dan keinginannya. Selain itu keadaan perekonomian dinegara itu sedang kacau, karena adanya kholifah yang korupsi, sehingga menyebabkan banyaknya kefakiran.

F. Al-Ghazali dan Tasawuf

Dalam bidang tasawuf Al- Ghazali berusaha meletakkan kembali posisi tasawuf ke tempat yang benar menurut syari’at Islam. Al-Ghazali membersihkan ajaran tasawuf dari pengaruh faham-faham asing yang masuk mengotori kemurnian ajaran Islam. Pada saat itu banyak yang beranggapan bahwa seorang ahli tasawuf yang tidak beri’tikad dangan faham di atas, maka sebenarnya tidak pantas diberi gelar sebagai ahli tasawuf Islam. Sehingga sebagian orientalis Barat terpengaruh dengan pendapat ini. Contoh-nya Nicholson, ia berpendapat, “Al-Ghazali tidak termasuk dalam golongan ahli tasawuf Islam, karena ia tidak beri’tikad dengan wihdat al-wujud”.

Dalam usaha pembersihannya tersebut, Al Ghazali mengawali kitabnya Ihya ‘Ulumiddin dengan pembahasan faraidh al-Diniyah, kemudian diikuti dengan pembahasan Nawafil dan selanjutnya baru diikuti dengan cara-cara yang sepatutnya diikuti untuk sampai ke martabat yang sempurna. Ketertarikan Al-Ghazali pada tasawuf tidak saja telah membuatnya memperoleh pencerahan dan ketenangan hati. Lebih jauh lagi, justru dia memiliki peran yang cukup signifikan dalam peta perkembangan tasawuf selanjutnya. Jika pada awal pembentukannya tasawuf berupaya menenggelamkan diri pada Tuhan dimeriahkan dengan tokoh-tokohnya seperti Hasan Basri (khauf), Rabi`ah Al-Adawiyah (hub al-ilah), Abu Yazid Al-Busthami (fana`), Al-Hallaj (hulul), dan kemudian berkembang dengan munculnya tasawuf falsafi dengan tokoh-tokohnya Ibn Arabi (wahdat al-wujud), Ibn Sabi`in (ittihad), dan Ibn Faridl (cinta, fana’, dan wahdat at-shuhud) yang mana menitikberatkan pada hakikat serta terkesan mengenyampingkan syariah, kehadiran Al-Ghazali justru telah memberikan warna lain; dia telah mampu melakukan konsolidasi dalam memadukan ilmu kalam, fiqih,dan tasawuf yang sebelumnya terjadi ketegangan.[2]

Peran terpenting yang di pegang al-Ghazali terjadi pada abad ke lima hijriyah. Pada saat itu terjadi perubahan yang jauh oleh para sufi. Banyak dari mereka yang tenggelam dalam dunia kesufian dan meninggalkan syariat.[3]

Kampanye al-Ghazali dalam mengembalikan tasawuf pada jalan aslinya yaitu tidak menyimpang dari nash dan sunah Rasul telah membawa perubahan besar pada zamannya. Ia berpendapat bahwa seorang yang ingin terjun dalam dunia kesufian harus terlebih dahulu menguasai ilmu syariat. Karena praktek-praktek kesufian yang bertentangan dengan syariat islam tidak dapat dibenarkan. Menurut al-Ghazali tidak seharusnya antara syariat dan tasawuf terjadi pertentangan karena kedua ilmu ini saling melengkapi.
Dalam kitabnya Ihya’ U’lum al-Din al-Ghazali menjelaskan dengan detail hubungan antara syariat dengan tasawuf. Ia memberikan contoh praktek syariat yang kosong akan nilai tasawuf (hakikat) maka praktek itu tidak akan diterima oleh Allah dan menjadi sia-sia. Sebaliknya praktek tasawuf yang meninggalkan aturan syariat islam maka praktek itu akan mengarah pada bid’ah. Ibarat syariat adalah tubuh maka nilai-nila tasawuf adalah jiwanya sehingga antara keduanya tidak dapat dipisahkan.[4]

G. Konsep Ma’rifat al-Ghazali

Konsep ma’rifat merupakan bagian dari finalitas maqomat seorang sufi. Setelah seorang sufi melewati berbagai maqom mulai dari taubah, wira’i, zuhud, faqru, sabar, tawakal, dan ridho maka sampailah ia pada satu tsamroh atau hasil dari perjalanan kesufian tersebut. Tsamroh itulah yang dalam kitab Ihya’ U’lum al-Din di namakan dengan mahabatullah.[5]

Keterikatan antara ‘mahabbah’ dan makrifat dalam pemikiran sufisme amat erat seolah sepasang kembar yang tak dapat dipisahkan baik subtansi maupun sifat-sifatnya. Dari makrifat lahir mahabbah, cinta. Tiada pengenalan yang tidak melahirkan cinta. Ini berlaku dalam setiap taraf spritual.

Menurut al-Ghazali proses mengenal Allah tidak dapat dilakukan hanya dengan menggunakn akal sebagaimana yang diyakini oleh para kaum filsafat. Al-Ghazali mengaatakan bahwa pengenalan Allah dengan dhauq atau perantara intuitif (batini) akan lebih dapat memberikan keyakinan dan ketenangan spiritual dari pada hanya sebatas bersandar dengan akal.

Proses ma’rifat (pengenalan) seseorang kepada tuhannya untuk mencapai mahabbah berbeda-beda. Al-Ghazali membagi kelompok orang-orang yang sampai pada tingkat ma’rifat dan mahabbah kepada dua tingkatan yaitu pertama tingkatan seseorang yang kuat dalam ma’rifat. Dia adalah seseorang yang menjadikan Tuhan sebagai awal ma’rifatnya dan kemudian dengan ma’rifat itu ia mengenal segala sesuatu yang selain Tuhan. Kedua adalah tingkatan seseorang yang lemah ma’rifatnya. Yaitu seseorang yang bermula dengan mengenal ciptaan Tuhan kemudian dengan ma’rifatnya ia mengenal Tuhan.[6]

Untuk sampai pada mahabbah dan ma’rifat yang sempurna kepada Tuhan tentunya seorang sufi terlebih dahulu harus melewati berbagi maqom dan melewati batas fana’. Fana’ merupakan satu istilah yang menggambarkan seorang sufi yang telah melakukan proses takhalli dan tahalli. Seorang yang mencintai Tuhan akan berusaha bertakhalli atau membersihkan diri dan jiwa dari segala macam sifat yang dibenci oleh Tuhan. Begitu juga sebaliknya setelah seorang sufi melakukan tahkalli (pembersihan) maka ia akan mengisi hidupnya dengan sifat-sifat yang dicintai oleh Tuhan atau bertahalli.[7]

Finalitas dari sebuah mahabbah dan ma’rifat yang sempurna adalah terbukanya hijab dan terjadinya tajalli atau penampakan Tuhan pada makhluknya. Seorang yang telah sampai pada maqom ini akan merasa hidupnya terpenuhi oleh cahaya Tuhan. Bahkan terkadang saat berada dalam kondisi sakran (mabuk) seseorang akan mengeluarkan ucapan-ucapan teopatis atau dalam istilah tasawuf syatotoh. Yang menarik dari konsep ma’rifat al-Ghazali adalah penolakannya pada konsep-konsep tokoh sufi sebelum al-Ghazali seperti Abu Yazid dengan konsep ittihad, al-Hallaj dengan konsep hulul, ibn Arabi dengan konsep wahdah al-wujud.

Menurut al-Ghazali paham tersebut berkecenderungan ke arah ketuhanan yang bercorak panteistis-imanenis yang menggambarkan Tuhan sebagai Dzat yang imanen dalam diri manusia. Al-Ghazali melihat itu semua sebagai paham yang akan merusak konsep tauhid yang menjadi ciri khas dogma teologi dalam Islam.

Dalam bukunya, al-Munqidz, ia melihat rumusan mengenai kedua konsepsi ini sebagai khayalan semata. Katanya, “… sampailah ia ke derajat yang begitu dekat dengan-Nya sehingga ada orang yang mengiranya sebagai hulul, ittihad atau wushul. Semua persepsi itu adalah salah belaka. … barang siapa mengalaminya, hendaklah hanya mengatakan bahwa itu suatu hal yang tak dapat diterangkan, indah, baik, utama, dan jangan lagi bertanya.”

Dengan batasan ini, bisa dilihat bahwa al-Ghazali mempertahankan keyakinan mengenai Tuhan sebagai Dzat yang transenden. Artinya Tuhan adalah Dzat yang mengatasi dan berbeda dengan manusia : Ada perbedaan mendasar antara Tuhan dan makhluk (manusia) secara jelas dalam pandangan al-Ghazali.

Akan tetapi penolakan al-Ghazali terhadap hulul dan ittihad di atas tidak otomatis merupakan penolakannya pada pengalaman orang-orang yang telah mencapai maqom ma’rifat. Bagi al-Ghazali, pengalaman itu benar adanya. Kaum `arifun, setelah pendakiannya ke langit hakekat, sepakat bahwa mereka tak lagi melihat dalam wujud ini kecuali Tuhan.

Adapun ucapan al-Hallaj ana al-Haq, dan ucapan-ucapan tokoh sufi lainnya yang dianggap aneh dan menyesatkan sebenarnya hanyalah merupakan kata-kata teopatis atau syafahat. Ia merupakan ucapan yang terlepas di bawah kontrol kesadaran seseorang saat ia berada dalam keadaan mabuk (sakran) akan cinta Tuhan. Ucapan-ucapan itulah yang selanjutnya di sebut sebagai ajaran-ajaran ittihad, hulul dan wihdatul wujud.

Menurut dia, ilmu sejati atau ma’rifat sebenarnya adalah mengenal Tuhan. Mengenal Hadrat Rububiyah. Wujud Tuhan meliputi segala Wujud. Tidak ada yang wujud, melainkan Tuhan dan perbuatan Tuhan. Tuhan dan perbuatannya adalah dua, bukan satu. Itulah koreksi al-Ghazali atas pendirian al-Hallaj dan ulama sufi lainnya. Wujudnya ialah kesatuan semesta (wihdatul wujud). Alam keseluruhan ini adalah makhluk dan ayat (bukti) tentang kekuasaan dan kebesaran-Nya. Sedangkan penglihatan akan Tuhan melalui alam dan makhlukNya adalah sebatas tajalli atau penampakan akan keberadaan Tuhan bukan berarti Tuhan menyatu dengan alam apalagi mengalami perstuan ke dalam tubuh manusia.

H. Penyebaran ajaran Tasawuf Al-Ghazali

Al Ghazali adalah salah satu ulama’ dan juga sufi yang terkenal di dunia. Hal ini disebabkan salah satu faktornya adalah karangan kitab beliau yang terkenal dengan nama Ikhya’ Ulumuddin (Menghidupkan ilmu-ilmu agama). Dalam kitab ini pembahasannya dibagi menjadi empat bab dan masing-masing dibagi lagi menjadi 10 pasal, yaitu:

Pada bab pertama: tentang Ibadah (rubu’ al – ibadah). Bab kedua: tentang adat istiadat (rubu’ al – adat). Bab ketiga: tentang hal -hal yang mencelakakan (rubu’ al – muhlikat). Sedangkan bab yang keempat: tentang maqamat dan ahwal (rubu’ al – munjiyat). Namun yang menjadi isi pokok pada kitab tersebut adalah ikhlas dengan tauhid Allah dan Ikhlas menjalankan tauhid Allah. Namun yang menjadi kekurangannya adalah al ghazali tidak membahas tentang jihad dalam kitab tersebut, padahal pada saat itu dalam keadaan perang.

I. Penutup

Demikianlah sedikit uraian tentang konsep tasawuf al-Ghazali. Tentunya tulisan ini masih sangat jauh untuk mengungkap secara detail dan sempurna tentang geliat al-Ghazali dalam dunia tasawuf . Untuk itu penulis yakin makalah ini masih membutuhkan banyak koreksi dan masukan. Sebagai penutup penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca Wallâhul hâdî ilâ sabîli al-rasyâd.

*Ditulis oleh: Misbahus Surur (Mahasiswa STAI Ma’had Aly Al-Hikam Malang).


[1] Ihya’ U’lum al-Din, Abu Hamid al-Ghazali. Hal 3

[2] Intelektualisme Tasawuf; Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali, Prof Dr Amin Syukur, MA dan Drs Masyharuddin, MA.

[3] Al-Hayat al-Ruhiyah fi al-Islam, Dr. Muhammad Musthafa Hilmi. Hal 124

[4] Ihya’ U’lum al-Din, Abu Hamid al- Ghazali.

[5] Tasawuf, Harun Nasution. Makalah Paramadina hal 4

[6] Ihya’ U’lum al-Din, Abu Hamid al- Ghazali.jilid 4 Hal 235

[7] Inti Tasawuf, Dr. Muhammad Nurshomad

17 Komentar

  1. dudung basori said,

    November 11, 2009 pada 5:38 am

    Aslm..lanjutkan kang makalahnya..hingga tema pro-kontra terhadap pandangan Al_Ghazali mengenai Tasauf…saya mencarinya buat tugas seminar di kelas pascasarjana…
    Syukran Jazilan..
    (email saya : dudungalwi@yahoo.com/FB. dudung alwi

  2. Mei 16, 2011 pada 8:03 am

    […] Dalam usaha pembersihannya tersebut, Al Ghazali mengawali kitabnya Ihya ‘Ulumiddin dengan pembahasan faraidh al-Diniyah, kemudian diikuti dengan pembahasan Nawafil dan selanjutnya baru diikuti dengan cara-cara yang sepatutnya diikuti untuk sampai ke martabat yang sempurna. Ketertarikan Al-Ghazali pada tasawuf tidak saja telah membuatnya memperoleh pencerahan dan ketenangan hati. Lebih jauh lagi, justru dia memiliki peran yang cukup signifikan dalam peta perkembangan tasawuf selanjutnya. Jika pada awal pembentukannya tasawuf berupaya menenggelamkan diri pada Tuhan dimeriahkan dengan tokoh-tokohnya seperti Hasan Basri (khauf), Rabi`ah Al-Adawiyah (hub al-ilah), Abu Yazid Al-Busthami (fana`), Al-Hallaj (hulul), dan kemudian berkembang dengan munculnya tasawuf falsafi dengan tokoh-tokohnya Ibn Arabi (wahdat al-wujud), Ibn Sabi`in (ittihad), dan Ibn Faridl (cinta, fana’, dan wahdat at-shuhud) yang mana menitikberatkan pada hakikat serta terkesan mengenyampingkan syariah, kehadiran Al-Ghazali justru telah memberikan warna lain; dia telah mampu melakukan konsolidasi dalam memadukan ilmu kalam, fiqih,dan tasawuf yang sebelumnya terjadi ketegangan.[2] […]

  3. Mei 16, 2011 pada 8:03 am

    […] setelah Naisabur di daerah Khurasan atau pada saat ini berada pada bagian timur laut negara Iran.[1] Al Ghazali dengan nama lengkap Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Thusi ini mendapat […]

  4. Lord of Midas said,

    Juli 27, 2011 pada 10:31 pm

    Perjalanan ilmu tasawwuf sgt sukar dan samar.Perlulah mempunyai guru yang mursyid.seorang guru yang benar2 mursyid sgt sukar dicari pada hari ini kerna tanggungjawab seorang guru sgt besar.Apabila seorang guru mentalkinkan dzikir terhadap muridnya,segala dosa dan kesilapan murid ditanggung ileh gurunya.Seorang guru yang benar2 telah mencapai maqam yang tinggi iaitu arifbillah sgt menyendiri sehingga agak sukar dikesan pada zaman moden.Adapun ramai orang ingin mendalami ilmu tasawwuf iaitu ilmu Zikrullah,namun ramai yang kecundang kerana tidak sabar.dengan ujian dalam perguruan.Kebanyakan yang mendalami ilmu tasawwuf di nusantara tidak berjaya kerana gurunya tidak mencapai maqam yang tinggi.Beruntunglah sesiapa yang menemui guru mursyid pada zaman ini kerana guru yang benar2 mursyid sudah hampir pupus ditelan zaman.

  5. rahmatmuntaha said,

    Oktober 21, 2011 pada 8:13 am

    Terima kasih postingannya…artikel yg bagus.
    http://kafebuku.com/spektrum-lintasan-spiritual/

  6. Hasan Husein said,

    Maret 6, 2012 pada 9:15 pm

    alhamdulillah saya suka artikelnya. tapi bisa dibantu bagaimana cara mendapatkan buku ihya ulumuddin, saya pengen belajar menjadi seorang sufi. temksh

  7. Januari 17, 2013 pada 5:49 pm

    […] Konsep ma’rifat merupakan bagian dari finalitas maqomat seorang sufi. Setelah seorang sufi melewati berbagai maqom mulai dari taubah, wira’i, zuhud, faqru, sabar, tawakal, dan ridho maka sampailah ia pada satu tsamroh atau hasil dari perjalanan kesufian tersebut. Tsamroh itulah yang dalam kitab Ihya’ U’lum al-Din di namakan dengan mahabatullah.[5] […]

  8. uddin said,

    Agustus 3, 2013 pada 5:33 pm

    masih ada mas di jawa timur.orangnya tidak terkemal

    • daud@gmail.com said,

      Januari 17, 2014 pada 8:32 am

      siapa namanya?

  9. wahyu said,

    Januari 11, 2014 pada 7:18 am

    Thx ya pencerahannya, namun akan tambah indah jika ditambahkan dg konsep yg lebih spesifik dari ilmu tasawuf tersebut.

  10. junaidi said,

    September 2, 2014 pada 3:56 pm

    alhamdulillah

  11. junaidi said,

    September 4, 2014 pada 5:51 pm

    Hendak paku petiklah paku
    Paku ada ditanah seberang
    Carilah aku tuntuti aku
    Aku berlindung dialam terang

    ilmu sare’at membelah kata
    Yang satu di belah dua
    Alim ulama jangan di percaya
    kalau mahluk masih berdaya

    hakikat ma’rifat yang pertama
    itulah pakaian nabi dan ambiya
    siapa saja yang mengetahuinya
    itulah jalan menuju sempurna

    Wahai saudaraku handai taulan
    Mengenal diri janganlah enggan
    Malu bertanya sesat dijalan
    Diakhirat nanti pasti dapat siksaan

    Biar alim dalam dunia
    Tekelip buta hidup percuma
    Bila Sholat mencari pahala
    Tanda orang munafik kelihatannya

    Allah itu cuma nama
    Diambil dari asmaul husna
    Barang siapa menyembah nama
    Akan sesat selama-lamanya

    Bukan aku tekelip buta
    Pimpinan asal semula
    Kini aku langsung menuju dia
    Tuhan Allah tiada perantara

    Wahai saudaraku tua dan muda
    fikirkanlah dengan nyata
    Tidak kenal yang punya nama
    Amal ibadah tiada diterima

  12. uwi are said,

    November 8, 2014 pada 1:20 am

    Tulisan yg obyektif dan tidak menghakimi, bagus utk referensi

  13. Januari 30, 2015 pada 12:05 am

    ass.. mhon kirnya dijelaskan metode2 tasawuf yg sesuai dgn faham al-gazhali, serta penjelasan2nya, terima kasih..

  14. supriyantoro said,

    November 26, 2015 pada 1:53 am

    tolong beritahu saya bila ikhwan semua menjumpai seorang guru sufi,sy ingin belajar menjadi seorang ahli tassawuf dan sufi..ini no hp sy 081389427898

  15. Nurul huda said,

    November 30, 2016 pada 3:48 am

    mohon share ye.. untuk bahan kajian saya
    artikel yang baik dan bagus


Tinggalkan Balasan ke rahmatmuntaha Batalkan balasan